Selasa, 29 Maret 2011

TARIAN PITU (Tujuh Peradilan Adat Toraja)

Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan Tarian Pitu atau Ra’ Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum pengadilan negeri.
Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:

Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.
Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esungganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.
Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar